Gemerlap Dua Bintang

Cerita ini menggambarkan persahabatan penulis dengan Mama Dani, seorang ibu yang gigih merawat dua anak dengan kebutuhan khusus. Meski menghadapi tantangan berat, Mama Dani tetap optimis dan penuh kasih. Kehidupan penulis juga berubah setelah mengenal sahabatnya, mengajarkan arti syukur dan kekuatan dalam menghadapi ujian hidup.

INSPIRASI ALUMNI

Elis Tuti Winaningsih

10/30/20246 min read

Aku punya seorang sahabat. Saat cerita ini ditulis, ia tinggal di belakang Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta bersama keluarga kecilnya. Perkenalan kami terbilang unik. Aku mulai mengenal namanya saat hati remuk redam melihat kondisi anak istimewaku terbaring tak berdaya di salah satu bed rumah sakit. Di tengah kondisi fisik dan mentalku terpuruk, seorang suster senior memberikan empati, nasihat dan menguatkan jiwa, serta menyuruh untuk berkenalan dengan Mama Dani. Alhamdulillah, takdirlah yang menuntunku bertemu hingga akhirnya bersahabat dengannya.

Sedikit kilas balik, tujuh tahun yang lalu, Allah titipkan kepadaku amanah seorang anak spesial yang kami beri nama Muhammad Yahya Elfayyadh. Dia adalah anak ketiga yang dinyatakan oleh dokter memiliki kelainan genetik trisomi 21 atau lebih dikenal dengan istilah down syndrome dengan kondisi kesehatan yang membutuhkan perhatian ekstra. Bayi mungil itu pun terpaksa harus dilahirkan dalam usia 8 bulan karena kondisi hydrops fetalis-nya semakin berat. Jantungnya mengalami PDA (Patent Ductus Arteriosus) karena lahir prematur, refleks menelan sangat lemah, sering terkena pneumonia, memiliki berat badan rendah (BBLR), dan sejumlah PR lainnya. Setelah lahir dia harus menjalani perawatan di ruang NICU selama kurang lebih 21 hari sebelum akhirnya bisa dibawa pulang ke rumah.

Sejak itu, babak baru kehidupanku dimulai. Setiap seminggu sekali kadang seminggu 2 kali jalan-jalan ke rumah sakit untuk mengontrol kondisi kesehatan atau melakukan berbagai terapi untuk tumbuh kembangnya. Sesekali kami juga menginap di sana jika kondisi fisiknya sedang tidak bersahabat. Bagi kami, tempat rihlah terbaik bukan lagi taman kota atau tempat-tempat wisata melainkan lobi dan ruang tunggu Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta.

Tepat di ulang tahun yang kedua, perjuangan Yahya tiba di garis finish. Allah lebih sayang kami. Meskipun rasa kehilangan itu tetap terasa hingga saat ini, tetapi kisah si pejuang kecil ini menyimpan berjuta makna, melecutkan semangat juang, menumbuhkan rasa syukur yang tak terkira, dan mengubah hidup dan kehidupan keluarga kecil kami.

Manusiawi, rasa lelah yang mendera memunculkan rasa ingin mengeluh. Aku pun sesekali mengizinkan derai air mata membasahi jiwa. Namun, setelah mengenal sahabatku yang luar biasa, rasanya tak pantas jika nada keluhan harus terucap. Tak elok jika kubiarkan jiwa menggerutu atas takdir yang menimpa. Sungguh, yang aku alami hanyalah sebutir pasir di pantai jika dibandingkan dengan sahabatku ini. Maa syaa Allah, seandainya aku seorang citraleka, maka akan kubuatkan sebuah prasasti agar kisah inspiratifnya terpatri dalam hati dan memberikan angin segar pada jiwa-jiwa yang gersang.

Baiklah, aku akan menceritakan bagaimana heroiknya sahabatku sehingga ia layak sejajar dengan para pahlawan yang tinggal cerita. Ya, untuk saat ini aku memberinya gelar “The Real Heroes” mengingat perjuangannya tak kalah heroik jika dibanding dengan para pahlawan yang kini terbaring di Kalibata.

Cerita bermula sejak kelahiran anak keduanya. Bayi perempuan yang sejak lahir sudah dianugerahi keistimewaan. Ya, bayi cantik itu mengalami epilepsy, kondisi neurologis (mempengaruhi otak dan sistem saraf) sehingga muncul kecenderungan untuk mengalami kejang yang dimulai di otak. Selain itu, bayi yang diberi nama Ica ini mengalami cerebral palsy (lumpuh otak) yang menyebabkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuhnya.

Sejak lahir hingga usianya 7 tahun, bayi mungil ini tidak pernah tidur di malam hari. Jika anteng dan main sendiri mungkin tidak masalah, tetapi bayi kecil itu tak mau tidur di atas kasur. Sekejap saja diletakkan dia akan menangis dan berteriak sehingga bisa mengganggu kenyamanan tetangga.

Otomatis, langkah paling efektif dalam menjaga Ica dan membuatnya anteng adalah selalu berada dalam dekapan hangat kedua orang tuanya. Kedua orang tua Ica sangat sabar dalam merawatnya. Mereka membagi waktu dalam menjaga Ica, shift pertama dilakukan oleh ayah sejak pulang kerja hingga jam 12 malam. Kemudian jam 12 malam hingga pagi gantian ibunya dan Ica baru bisa tidur menjelang jam 5 pagi.

Setelah Ica tidur, sahabatku ini lanjut mengerjakan pekerjaan rumah. Menyiapkan sarapan, beres-beres rumah, mencuci pakaian, ke pasar, dan segudang pekerjaan rumah tangga lain yang seolah tak ada habisnya. Siang hari saat sang suami sudah berangkat kerja, sahabatku ini terus berjibaku tanpa jeda, ditambah pula merawat Ica dengan penuh cinta. Usia Ica saat cerita ini ditulis 22 tahun, tetapi semua aktivitas pribadi tak bisa dilakukan sendiri. Dengan keterbatasan yang dimiliki, ganti baju, mandi, makan, buang air besar, dan seluruh aktivitas pribadi dibantu oleh sang ibu.

Dalam sebuah pengajian ibu-ibu di masjid kampung, aku mendengar ustaz menjelaskan sebuah hadits, “Jika Allah mencintai suatu kaum maka mereka akan diuji” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, 3/302. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 285).

Mendengar penjelasan hadis itu, aku jadi teringat kepada Mama Dani, sahabatku. Sungguh, Allah sangat sayang dan cinta pada keluarga ini. Terbukti dengan memberikan ujian yang luar biasa. Kata ustaz, semakin Allah cinta pada seseorang, maka ujian yang diberikan padanya bisa semakin berat, karena ujian tersebut akan semakin menaikkan derajat dan kemuliaannya di hadapan Allah.

Kemudian Allah tunjukkan rasa sayangnya kembali saat kelahiran anak berikutnya. Kelelahan yang mendera dalam merawat Ica selama 16 tahun tak membuatnya putus asa. Saat anak ketiga dinyatakan memiliki kelainan genetik juga, sahabatku sudah siap jiwa raga. Tak ada lagi waktu untuk meratap dan mengiba.

Anak laki-laki baru lahir itu dinyatakan termasuk salah satu anak spesial karena kelainan genetik di kromosom 21, sama persis dengan yang dialami oleh Yahya (alm). Publik mengenalnya Kelainan genetik ini menyebabkan penderitanya memiliki tingkat kecerdasan yang rendah dan kelainan fisik yang khas. Mereka rentan mengalaki komplikasi masalah kesehatan.

Bayi mungil yang kemudian diberi nama Dani mengalami masalah kesehatan yang cukup serius. Ia termasuk salah satu anak down syndrom yang disertai dengan penyakit diabetes melitus tipe 1 (jenis tipe diabetes untuk anak-anak). Pada diabetes tipe 1, terjadi kerusakan pankreas sehingga hormon insulin tidak terbentuk dengan cukup. Akibatnya, proses metabolisme gula darah terganggu. Gula menumpuk dalam kadar tinggi di dalam darah dan tak dapat masuk ke dalam sel-sel tubuh.

Penangananya juga cukup menyita waktu dan perhatian karena harus memberikan Insulin dengan suntikan di bawah kulit 2-3 kali dalam sehari. Selain itu makanan harus mengandung gizi seimbang, memonitor gula darah dengan teratur, dan mengajak Danil melakukan aktivitas jasmani secara teratur. Teman-teman bisa kebayang ‘kan, selain merawat Ica sahabatku juga harus merawat Dani. Keduanya membutuhkan ektra waktu, ekstra tenaga dan ekstra perhatian. Maa syaa Allah ....

Setelah selesai memberikan mereka makan dan minum susu, saat itulah kesempatan sahabatku untuk bekerja (membuat kue kering atau pekerjaan rumah lainnya). Tangannya sangat piawai dalam mengerjakan semua itu. Alhamdulillah, berkat keterampilannya dia bisa mengumpulkan pundi-pundi rupiah yang akan digunakan untuk membeli alat kesehatan kedua anak spesialnya.

Saat tiba waktu kedua anaknya makan, minum susu, atau tidur siang dia berhenti sejenak dari pekerjaan, baru kemudian berlanjut kembali setelah kedua anaknya merasa kenyang atau tertidur. Prinsipnya, yang penting mereka kenyang jadi bisa anteng dan gak rewel. Begitulah rutinitas harian jika tidak ada jadwal kontrol rutin ke rumah sakit Harapan Kita.

Ibarat sedang dalam perjalanan, perjuangan tidak selamanya mulus. Terkadang banyak batu kerikil, onak dan duri yang menghalangi jalan. Bahkan sesekali juga kehilangan arah saat sinyal GPS menghilang. Demikian juga dengan cerita sahabatku, terkadang Ica atau Dani juga tiba-tiba ngedrop sehingga harus rawat inap di rumah sakit. Bahkan saking seringnya dirawat para suster dan dokter pun kenal baik dengan beliau.

Salutnya lagi, kalau aku, saat lelah muka langsung berubah, hehehe … dari manis menjadi asem terus makin kecut. Mood juga suka rusak, hidup tak bergairah, hingga akhirnya emosi kurang terkendali. Nah, sahabatku ini nggak begitu. Wajahnya selalu ceria, walaupun gurat lelah tak bisa ditutupi tapi aura positifnya terus memancar bak sahmura di belantara. Kilaunya terus berpijar menerangi buana dan jagat cakrawala.

Alhamdullilah Allah memberikan kekuatan kepada sahabatku dan keluarganya. Walaupun jasad sangat lelah dan tidur hanya mampu beberapa jam saja, tetapi mereka tak pernah sakit. Sesekali flu dan pilek menyerang tapi tak pernah bertahan lama. Memang mereka merasakan lelah yang luar biasa tetapi semangat mengalahkan semuanya demi anak-anak tercinta.

Maa Syaa Allah, aku jadi teringat sebuah nasehat, "Seberapa berat ujian yang Allah berikan kepada kita, sebesar itu pula hadiah yang akan Allah berikan kepada kita di akhirat nanti." Apa yang sahabatku alami sungguh menampar diri ini. Aku yang biasanya sedikit-sedikit ngeluh, sedikit-sedikit bilang cape, sedikit-sedikit bilang jenuh, jadi merasa sangat malu.

“Tidaklah menimpa seorang mukmin berupa rasa sakit (yang terus menerus), rasa capek, kekhawatiran (pada pikiran), sedih (karena sesuatu yang hilang), kesusahan hati atau sesuatu yang menyakiti, sampai pun duri yang menusuknya, melainkan akan dihapuskan dosa-dosanya.” (Riwayat Bukhari no. 5641 dan Muslim no. 2573)

Semoga keikhlasan dan kesabaran mereka dalam merawat Ica dan Dani menjadi perantara terhapus nya dosa dan jalan tol menuju surga. Aamiin.

Sebagai penutup dari tulisan ini, izinkan menghadiahkan beberapa kalimat motivasi yang diambil dari lirik nasyid Izzatul Islam dengan sedikit penyesuaian, semoga ini merupakan bentuk dukungan tak seberapa agar beliau dan juga teman-teman yang baca kisah ini tetap semangat dalam berjuang.

Biodata penulis:

Elis Tuti Winaningsih memiliki nama pena Wina Elfayyadh. Penulis adalah salah satu alumni SMAN 2 Kuningan angkatan 2004 dan pernah mengenyam Pendidikan lanjutan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2008) dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta (lulus S2 tahun 2022 lalu melanjutkan program doktoral di tahun 2023). Penulis aktif dalam dunia literasi sejak 2018. Hingga saat ini sudah melahirkan 3 buku solo, 3 jurnal, dan 50-an buku antologi. Pernah menjadi penulis terbaik dalam tulisan berjudul My Inspiration Idol, Legenda Rakyat, dan Istimewa di Hati. Selain itu juga peneliti rajin mengikuti challenge menulis dan beberapa tulisan berhasil menjadi naskah terpilih, bahkan pernah menjadi peserta terbaik. Selain berusaha produktif menulis, peneliti juga pernah mendapatkan amanah sebagai PJ dan proofreader di Komunitas Menulis Online (KMO) Indonesia. Selain aktif dalam dunia literasi, penulis juga aktif dalam dunia pendidikan sejak tahun 2006 di SDIT Luqmanul Hakim Yogyakarta, kemudian berlanjut di SDIT Al Ihsan Jakarta, SD Jarak Jauh, SD Islam Sinar Cendekia, Sinar Cendekia Boarding School, dan saat ini mendapat amanah sebagai pendidik yang mendapat tugas tambahan sebagai wakil kepala sekolah bidang kesiswaan di SMP Islam Sinar Cendekia. Wina dapat dihubungi via Instagram: wina_elfayyadh atau email faiqulfayyadh@gmail.com